redaksiharian.com – Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Ajisatria Suleiman menilai penerapan regulasi atas penggunaan aplikasi Chat GPT perlu dilakukan per sektor, bukan secara masif pada tingkat nasional.

Lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini mencontohkan regulasi pemanfaatan kecerdasan buatan pada sektor pendidikan bisa dilakukan mengingat penggunaan Chat GPT tidak diperkenankan dalam pelaksanaan ujian.

“Contohnya kalau tadi kita berbicara di sektor pendidikan, misalnya ada yang mengatakan bahwa Chat GPT dilarang di dalam ujian, maka pengaturannya bisa diserahkan ke sekolah masing-masing,” katanya dalam keterangannya diterima di Jakarta pada Kamis.

Ia memastikan penggunaan Chat GPT bisa dilakukan secara terbatas dalam sektor tertentu, yang terpenting tidak mengganggu penegakan hukum dan pelaksanaan norma maupun peraturan berlaku pada sektor tersebut.

Terkait kehadiran kecerdasan buatan dan dampaknya kepada kehidupan secara umum, Ajisatria mengatakan kemunculan Chat GPT hanyalah merupakan awal dari revolusi kecerdasan buatan, mengingat tidak tertutup kemungkinan muncul berbagai bentuk teknologi kecerdasan buatan lainnya.

Kondisi ini, menurut dia, berpotensi mengganggu sektor ketenagakerjaan sehingga pemangku kepentingan harus memikirkan kemampuan tambahan yang diperlukan bagi pengembangan sumber daya manusia agar individu tidak tertinggal dari fenomena kecerdasan buatan.

“Kalau kita tidak mampu menangkap tantangan dan menyelesaikan risiko-risikonya, kita bisa sangat tertinggal, kita tidak bicara puluhan tahun, dalam 5-10 tahun ke depan saja kita bisa tertinggal kalau tidak beradaptasi,” katanya.

Ajisatria juga menambahkan kalau kehadiran teknologi kecerdasan buatan mungkin akan berdampak pada jenis-jenis pekerjaan tertentu. Tapi kemungkinan ini hendaknya disikapi dengan positif dan memacu yang terlibat untuk meningkatkan kemampuan dan kapasitas dalam menjalankan pekerjaan tersebut.