redaksiharian.com – Menjelang batas waktu pelaporan pajak usaha, sistem perpajakan Indonesia semakin diperbaiki melalui penerapan teknologi yang mempermudah pelaporan oleh wajib pajak.
Tahun lalu, Kementerian Keuangan mengumumkan bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan mulai melaksanakan pembaruan sistem inti administrasi perpajakan (PSIAP), atau core tax administration system (CTAS). Penerapan CTAS bertujuan untuk mendigitalisasi setidaknya 21 proses bisnis utama di DJP, mulai dari pelayanan hingga penegakan hukum.
Digitalisasi pelaporan pajak disebut akan memacu adopsi teknologi, seperti aplikasi pajak, oleh bisnis yang akan berdampak positif pada pemenuhan kewajiban pajak.
Chief Product Officer dari perusahaan software-as-a-service (SaaS) Mekari Aviandri Hidayat, dalam siaran pers, Kamis, mengatakan bahwa langkah pemerintah untuk mendigitalisasi sistem pajak Indonesia sesuai dengan tren perpajakan global yang kian paperless, tanpa kertas, wajib pajak tidak lagi berkunjung ke kantor pajak, namun, melakukan pemrosesan pajak via online.
“Inisiatif digitalisasi pajak oleh pemerintah, termasuk pelaporan online, akan memacu bisnis untuk mempercepat adopsi teknologi perpajakan, seperti aplikasi pajak. Peralihan dari cara konvensional ke digital akan berdampak positif bagi bisnis. Teknologi akan mengotomasi pemrosesan pajak, mulai dari pengolahan data hingga pengarsipan dokumen sehingga bisnis dapat dengan lebih mudah dan lancar memenuhi kewajiban pajak mereka,” kata Aviandri.
Dia menambahkan bahwa supaya bisa beradaptasi dengan tren digitalisasi perpajakan, bisnis harus mengadopsi teknologi untuk pemrosesan data dan dokumen pajak.
Berikut lima kiat bagi pelaku bisnis yang ingin mulai beralih dari pemrosesan pajak yang konvensional ke digital.
1. Gunakan aplikasi mitra resmi DJP
Aplikasi pajak hanya akan bermanfaat apabila aplikasi tersebut sudah menjadi mitra resmi DJP sebagai Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan (PJAP).
“Dengan terhubung langsung ke DJP, aplikasi PJAP, contohnya Mekari Klikpajak, mampu mensinkronisasi semua data dan dokumen perpajakan yang diproses melalui aplikasi pajak dengan data dan dokumen yang sudah tersimpan di sistem DJP. Dengan demikian, bisnis tidak akan menghadapi masalah kedepannya hanya karena ada kesalahan pada penyamaan data,” kata Aviandri.
2. Perhatikan kemudahan migrasi data
Bisnis, apalagi yang sudah beroperasi untuk waktu yang lama, pasti sudah memiliki data dan dokumen perpajakan, seperti bukti potong (bupot), yang tersimpan di DJP. Agar bisa mengambil data tersebut, bisnis sebaiknya memilih aplikasi pajak dengan fitur pre-populated yang bisa secara otomatis menarik data dan dokumen lama di DJP sehingga bisnis tidak perlu repot mencari dan menyamankan data secara manual.
3. Prioritaskan aplikasi all-in-one
Bisnis harus memilih aplikasi pajak yang mempunyai fitur-fitur lengkap agar setiap proses pelaporan pajak, mulai data entry hingga pengarsipan dokumen, dapat dilakukan secara ringkas lewat satu aplikasi yang mumpuni.
“Dengan memanfaatkan aplikasi pajak yang serba bisa, bisnis akan menikmati faedah yang ditawarkan teknologi dalam memudahkan pemrosesan pajak, mulai dari pajak pertambahan nilai (PPN) hingga Pajak Penghasilan (PPh) menyangkut modal, transaksi, impor, serta yang spesifik untuk industri tertentu, seperti pelayaran” kata Aviandri.
4. Utamakan integrasi solusi digital
Bagi bisnis yang sudah menjalankan sistem teknologi informasi (TI) sendiri, pastikan bahwa semua solusi digital untuk enterprise resource planning (ERP), termasuk aplikasi pajak, dapat diintegrasi sepenuhnya dengan sistem TI tersebut di level application programming interface (API). Integrasi dan kompatibilitas sistem memastikan bahwa semua pengerjaan data dan dokumen pajak, seperti pembuatan dan pengarsipan faktur pajak, akan otomatis tersinkronisasi di bagian pekerjaan lainnya, seperti akuntansi.
5. Cari fitur untuk akurasi data
Karena berkutat dengan penghitungan ratusan angka dan pengisian berbagai formulir, pengerjaan pajak rentan akan kesalahan yang bisa berakibat negatif bagi bisnis. Kini, ada aplikasi pajak yang dilengkapi fitur yang akan otomatis memeriksa dan merekonsiliasi data sehingga menekan kemungkinan human error.
Aviandri menambahkan bahwa pengembangan core tax system kedepannya harus menjadi sinyal bagi bisnis untuk segera mendigitalisasi pemrosesan pajak mereka.
DJP menargetkan untuk menguji coba core tax system pada Oktober 2023, dengan tujuan untuk sepenuhnya mengoperasikan sistem informasi baru pada 2024.
“Satu tahun ini harus dimanfaatkan oleh bisnis untuk mengubah proses perpajakan, termasuk mengimplementasi teknologi dan melatih pegawai, ke yang berbasis teknologi sehingga begitu sistem baru sudah berjalan, bisnis sudah siap untuk mengikutinya,” kata Aviandri.