redaksiharian.com – Kecerdasan buatan ( AI ) ibarat pisau bermata dua. AI memiliki banyak manfaat di dunia teknologi, namun, disalahgunakan juga untuk tindakan kejahatan.
Di Amerika Serikat (AS), laporan terbaru menunjukkan bahwa AI digunakan para scammer untuk mengelabui korban. Scammer ini melakukan penipuan dengan cara meniru suara orang terdekat dari korban menggunakan AI.
Tindakan penipuan banyak dilakukan melalui panggilan telepon dan menargetkan orang tua atau lanjut usia. Orang dari kalangan ini memang rentan menjadi korban, terutama jadi target kejahatan keuangan.
Dalam laporan baru dari The Washington Post, modus ini menjadi jenis penipuan paling populer kedua di AS dengan lebih dari 36.000 kasus sepanjang 2022.
Dari 36.000 kasus tersebut, lebih dari 5.000 korban mengaku bahwa penipuan tersebut dilakukan melalui panggilan telepon. Adapun total kerugian mencapai 11 juta dollar AS atau sekitar Rp 169 miliar.
Salah satu korbannya adalah keluarga Benjamin Perkin. Ia bercerita, kedua orang tuanya yang sudah lansia mendapatkan telepon dari seseorang yang mengaku sebagai pengacara.
Pelaku atau scammer itu mengatakan bahwa anak mereka, Perkin, mengalami kecelakaan mobil hingga membuat seorang diplomat AS meninggal dunia. Scammer itu mengatakan bahwa Pakin sedang ditahan di penjara dan membutuhkan biaya hukum.
Dengan menggunakan AI, penipu itu kemudian meniru suara Perkin saat berbicara di telepon dengan kedua orang tuanya.
Singkat cerita, kedua orang tua Parkin diminta membayar 15.000 dollar AS (sekitar Rp 230 juta) pada saat itu.
Belum diketahui dari mana penipu tersebut mendapatkan dan meniru suara Perkin. Namun, sebelumnya Perkin memang pernah mengunggah video tentang dirinya di YouTube.
Kasus penipuan seperti ini juga terjadi pada seorang lansia, Ruth Card.
Sama halnya dengan keluarga Perkin, Card mendapatkan telepon bahwa cucunya Brandon sedang mendekam di penjara dan membutuhkan biaya hukum.
Padahal, orang yang menelepon Card bukanlah Brandon, melainkan penipu yang meniru Brandon dengan bantuan teknologi kecerdasan buatan .
Korban penipuan ini mengaku mengalami kerugian 2.207 dollar AS (sekitar Rp 33,8 juta).
Sulit dilacak
Will Maxson selaku Marketing Practices Assistant Director di Federal Trade Commission (FTC) menyebutkan bahwa penipuan seperti ini sulit dilacak karena tidak ada kejelasan terkait lokasi pelaku.
Sehingga sulit pula untuk menentukan lembaga mana yang memiliki yurisdiksi atas kasus tertentu.
Chief Executive Identity Theft Resource Center, Eva Velasquez, memiliki opini yang senada. Menurut Eva kepolisian tidak memiliki dana dan staf yang memadai untuk membentuk unit yang didedikasikan untuk melacak penipuan.
Masyarakat pun diminta melakukan pencegahan sebelum penipuan terjadi. Maxson menjelaskan bahwa hal ini dapat dilakukan dengan mencoba menghubungi anggota keluarga yang lain ketika mendapatkan panggilan yang mencurigakan.
Masyarakat juga diimbau untuk tidak mudah percaya dengan nomor telepon keluarga, karena nomor tersebut bisa saja sudah dipalsukan.
Terakhir, jangan pernah membayar dengan kartu hadiah (gift card) dan selalu bersikap waspada jika ada orang yang meminta uang, sebagaimana dirangkum KompasTekno dari The Washington Post, Rabu (8/3/2023).
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.