Para menteri Asia Tenggara, Jumat (5/8) mengecam kurangnya kemajuan dalam proses perdamaian di Myanmar. Mereka menuntut junta mengambil tindakan sebelum pertemuan puncak regional akhir tahun ini.

Myanmar berada dalam kekacauan sejak kudeta Februari tahun lalu, dan jumlah korban tewas dari tindakan brutal militer untuk membungkam perbedaan pendapat telah melampaui 2.100, menurut sebuah kelompok pemantau lokal.

Kemarahan berkembang di antara beberapa anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) terhadap para jenderal di Myanmar, terutama setelah eksekusi empat tahanan bulan lalu, termasuk dua tokoh prodemokrasi terkemuka.

Setelah upaya untuk menyelesaikan kekacauan tidak membuahkan hasil, blok 10 negara ini mengeluarkan pernyataan bersama usai pembicaraan para menteri luar negeri di Phnom Penh.

Para menteri mengatakan mereka “sangat kecewa dengan kemajuan terbatas dan kurangnya komitmen dari otoritas Naypyidaw untuk mengimplementasikan konsensus lima poin secara lengkap dan tepat waktu.

Anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara, ASEAN menghadiri pertemuan saat Pertemuan Antar Menteri Luar Negeri dengan perwakilan Komisi Antarpemerintah ASEAN untuk Hak Asasi Manusia (AICHR) di Phnom Penh, Kamboja, Selasa, 2 Agustus 2022. (AP Photo/Heng Sinith )

Anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara, ASEAN menghadiri pertemuan saat Pertemuan Antar Menteri Luar Negeri dengan perwakilan Komisi Antarpemerintah ASEAN untuk Hak Asasi Manusia (AICHR) di Phnom Penh, Kamboja, Selasa, 2 Agustus 2022. (AP Photo/Heng Sinith )

Dalam peringatan terselubung kepada junta Myanmar, pernyataan yang merujuk pada Pasal 20 piagam ASEAN tersebut, mengungkapkan bahwa pertemuan para pemimpin akhir tahun ini masih bisa mengambil tindakan atas “ketidakpatuhan” Myanmar.

Keputusan ASEAN biasanya diambil melalui konsensus, tetapi Pasal 20 mengizinkan pertemuan puncak untuk mengesampingkan prinsip ini.

Diplomat tertinggi Myanmar, Wunna Maung Lwin, tidak diundang ke Phnom Penh dan tidak dikutsertakan dalam pertemuan para menteri luar negeri Februari lalu, sementara pemimpin junta Min Aung Hlaing dikucilkan pada pertemuan puncak para pemimpin tahun lalu.

Para menteri luar negeri juga mengutuk eksekusi bulan lalu terhadap Phyo Zeya Thaw, seorang rapper yang beralih profesi menjadi anggota parlemen dari partai Liga Nasional untuk Demokrasi pimpinan Aung San Suu Kyi yang digulingkan, dan aktivis politik veteran Kyaw Min Yu, yang lebih dikenal sebagai “Jimmy”.

Awal pekan ini, Malaysia yang memimpin seruan untuk mengambil tindakan lebih keras, mengindikasikan bahwa Myanmar dapat menghadapi penangguhan dari blok tersebut, jika para anggota lainnya tidak melihat adanya kemajuan nyata menjelang KTT para pemimpin.

ASEAN telah lama dicemooh oleh para kritikus sebagai blok omong kosong. Tetapi selain Malaysia, Filipina, Indonesia, dan Singapura kini mendorong sikap yang lebih tegas terhadap Myanmar.

Pernyataan hari Jumat (5/8) mengatakan utusan khusus ASEAN untuk Myanmar harus diizinkan untuk bertemu dengan “semua pemangku kepentingan yang relevan”, pernyataan yang mengacu pada keputusan junta militer untuk memblokir akses ke Suu Kyi yang ditahan.

Peraih Nobel dan ikon demokrasi itu menghadapi serangkaian dakwaan yang bisa membuatnya dipenjarakan selama lebih dari 150 tahun.

Kesulitan mencapai konsensus ASEAN diakui oleh kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell, yang berada di Phnom Phenh untuk pembicaraan regional.

Namun ia menekankan bhawa “situasi Myanmar membutuhkan tindakan yang lebih berani dan lebih kuat”. “Jelas bahwa junta tidak menyimak,” katanya, dan menyebut eksekusi baru-baru ini sebagai “provokasi yang jelas”. [ab/uh]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.