Para menteri luar negeri Asia Tenggara berusaha mencari cara untuk membantu memadamkan kekisruhan diplomatik terkait Taiwan pada pembicaraan regional Rabu (3/8), setelah Ketua DPR AS Nancy Pelosi tiba di pulau itu Selasa malam dan membuat marah Beijing.

Penerbangan dramatis Pelosi pada larut malam ke Taipei, yang menentang ancaman pembalasan oleh China, mendominasi pertemuan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) di Phnom Penh, yang sebetulnya difokuskan pada usaha untuk mengatasi krisis berdarah di Myanmar.

Perhatian akan terpusat pada Menteri Luar Negeri China Wang Yi dan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken, keduanya akan terbang ke ibu kota Kamboja untuk melangsungkan pembicaraan mengenai keamanan regional dengan ASEAN pada Kamis dan Jumat.

Juru bicara ASEAN Kung Phoak, yang menjabat Wakil Menteri Luar Negeri Kamboja, mengatakan pertemuan blok itu akan berusaha membantu meredakan ketegangan. Ia mengatakan kepada wartawan bahwa para menteri akan mencoba menemukan cara untuk blok itu agar dapat membantu mengusahakan situasi di Taiwan stabil, tidak mengarah pada konflik dan tidak akan meningkatkan ketegangan politik di antara semua pihak terkait.

Selasa malam (2/8), China bersumpah akan mengambil tindakan militer yang ditargetkan sebagai tanggapan atas kunjungan Pelosi ke pulau yang diklaim Beijing sebagai bagian dari wilayahnya itu. Blok yang terdiri dari 10 anggota itu terbagi antara negara-negara yang memiliki hubungan dekat dengan China seperti Myanmar, Kamboja dan Laos, dan negara-negara lain yang mengkhawatirkan Beijing dan keagresifannya yang meningkat.

Tetapi tidak ada negara ASEAN yang secara resmi mengakui Taiwan dan tidak jelas apa yang mungkin dilakukan blok tersebut untuk meredakan krisis antara AS dan China.

Perdana Menteri Kamboja Hun Sen, yang membuka pertemuan sebagai ketua ASEAN, mengutuk Myanmar karena mengeksekusi empat tahanan bulan lalu.

Myanmar terjerumus ke dalam kekacauan setelah militer merebut kekuasaan tahun lalu dengan menggulingkan pemerintah sipil Aun San Suu Kyi. Korban tewas dari tindakan keras junta telah melampaui 2.100, menurut sebuah kelompok pemantau lokal.

ASEAN, yang telah lama dicemooh sebagai kelompok omong kosong yang memberikan perlindungan politik kepada rezim represif, sejauh ini telah memelopori upaya untuk memulihkan perdamaian di Myanmar dan menyuarakan kemarahan atas eksekusi yang dilakukan.

Hun Sen mengatakan blok itu “kecewa dan terganggu” oleh eksekusi dan memperingatkan bahwa penggunaan hukuman mati lebih lanjut akan memaksa mereka “memikirkan kembali” rencana perdamaian lima poin yang disepakati tahun lalu dengan Myanmar. Rencana tersebut menyerukan diakhirinya segera kekerasan dan dialog antara junta dan pihak yang menentang kudeta. Tetapi para menteri yang bertemu tatap muka untuk pertama kalinya sejak pandemi, diperkirakan akan mengungkapkan penyesalan mereka atas kurangnya kemajuan yang dicapai.

Myanmar sendiri tidak terwakili dalam pertemuan tersebut setelah para anggota ASEAN lainnya mengatakan mereka tidak akan menerima seorang menteri junta dan para jenderal Myanmar menolak untuk mengirim pejabat lain sebagai gantinya. Sebuah tempat ditetapkan untuk delegasi Myanmar di meja perundingan itu, lengkap dengan bendera, dengan kursi yang dibiarkan kosong.

Beberapa negara anggota, yang dipimpin oleh Malaysia dan Filipina, berusaha melarang rezim militer mengirim menteri ke pertemuan ASEAN, termasuk KTT November, sampai ada kemajuan dalam rencana lima poin.

Ketegangan di Laut China Selatan yang sedang berlangsung merupakan isu penting lain yang masuk agenda pembicaraan pada pertemuan ASEAN kali ini. Beijing mengklaim sebagian besar perairan itu. Klaimnya tersebut tumpang tindih dengan klaim teritorial Brunei, Malaysia, Filipina, Taiwan dan Vietnam. [ab/uh]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.