Presiden Joko Widodo menginstruksikan kepada jajaran terkait untuk meminta usulan kepada masyarakat terkait kelanjutan pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

Hal tersebut disampaikan oleh Menko Polhukam Mahfud MD usai melaksanakan rapat internal dengan Jokowi di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (2/8).

Dalam kesempatan itu, Mahfud menjelaskan bahwa draft RKUHP sudah masuk dalam tahap akhir pembahasan yang mencakup lebih dari 700 pasal. Namun, katanya, saat ini masih ada 14 masalah atau pasal krusial yang perlu diperjelas. Mahfud sendiri tidak menjabarkan secara rinci apa saja ke-14 masalah tersebut.

“Oleh sebab itu, tadi bapak presiden memerintahkan atau meminta kepada kami dari pemerintah yang terkait dengan ini untuk sekali lagi memastikan bahwa masyarakat sudah paham terhadap masalah-masalah yang masih diperdebatkan itu sehingga kami diminta untuk mendiskusikan lagi secara masif dengan masyarakat untuk memberi pengertian dan justru meminta pendapat dan usul-usul dari masyarakat,” ungkap Mahfud.

Menurutnya, hal ini diperlukan karena hukum merupakan cermin kesadaran hidup masyarakat, sehingga hukum yang akan diberlakukan tersebut harus mendapatkan pemahaman dan persetujuan dari masyarakat. Ia menjelaskan, pembahasan 14 masalah tersebut akan dilakukan melalui diskusi yang lebih terbuka dan lebih pro aktif melalui dua jalur. Pertama, katanya akan dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan kedua dengan terus melakukan sosialisasi dan diskusi kepada simpul-simpul masyarakat yang terkait masalah ini.

Nantinya, ujar Mahfud, pihak Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) akan memfasilitasi dan menjadi penyelenggara diskusi-diskusi ini dengan materi yang tetap dipersiapkan oleh Kementerian Hukum dan HAM untuk 14 masalah yang masih dipertanyakan oleh masyarakat untuk lebih dipertajam kembali.

“Intinya itu seluruh yang akan kita lakukan itu adalah dalam rangka menjaga ideologi negara, dan integritas negara kita, integritas ketata pemerintahan kita, integritas ketatanegaraan kita di bawah sebuah ideologi negara dan konstitusi yang kokoh,” tuturnya.

Lebih dari 14 Pasal Bermasalah Dalam RKUHP

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bidang Advokasi dan Jaringan Zainal Arifin mengatakan langkah pemerintah untuk mengajak berdiskusi dan meminta masukan dari masyarakat terkait RKUHP menjadi sangat penting, karena permasalahan ini kerap diperbincangan oleh publik sampai saat ini.

Maka dari itu, ia berharap pemerintah bisa mendengar aspirasi masyarakat dan jangan tergesa-gesa untuk mengesahkan RKUHP tersebut.

“Dan kalaupun melihat draft yang ada hari ini yang terbaru, itu berbeda dengan draft versi 2019. Maka menjadi penting untuk kemudian itu dikaji dan tidak lagi kemudian berpacu dengan waktu seakan-akan ingin berlomba untuk segera mengesahkan RKUHP, karena di draft yang terbaru sendiri masih ada beberapa pasal-pasal yang menurut kita bermasalah yang kemudian di 2019 yang kita permasalahkan dan itu masih dimasukkan dalam draft terbaru,” ungkap Zainal kepada VOA.

Ia mencontohkan pasal-pasal yang dianggap bermasalah salah satunya adalah pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden yang terancam penjara 3,5 tahun. Menurutnya, ada lebih dari 14 pasal dalam RKUHP yang bermasalah dan berpotensi mengancam demokrasi yang selama ini terlah diperjuangkan.

Lebih lanjut, ia pun mempertanyakan penugasan kepada pihak Kemenkominfo untuk mensosialisasikan RKUHP ini kepada masyarakat. Zainal beranggapan bahwa Kemenkominfo tidak memahami substansi daripada RKUHP tersebut. Bahkan Zainal mengatakan bahwa sebenarnya selama ini yang tidak memahami substansi daripada RKUHP adalah dari pihak pemerintah sendiri.

“Artinya sebenarya selama ini yang dianggap tidak paham adalah masyarakat dengan pasal-pasal bermasalah. Sementara yang melakukan aksi di 2019, itu kan dari kalangan masyarakat sipil seperti mahasiwa, buruh dan sebagainya yang menyampaikan pasal-pasal bermasalah dengan berbagai argumentasi dan kajian yang sangat logis. Justru sebenarnya kebalik menurut kami di YLBHI, justru yang tidak paham pemerintah selama ini. Kalau tujuannya untuk mengajak Kemenkominfo untuk bisa memahamkan masyarakat. Pemerintah sekarang ini harus lebih banyak mendengar, bukan dalam bentuk memahamkan,” jelasnya.

Terkait diskusi pembahasan RKUHP dengan pemerintah, sebenarnya Koalisi Masyarakat Sipil sebenarnya telah melakukan audiensi dengan Kemenkumham terkait draft RKUHP sebelum tanggal 4 Juli. Pihaknya pada saat itu, telah memberikan hasil analisis kajian dan melakukan diskusi. Namun, katanya usulan dan analisis mereka tersebut diabaikan oleh pemerintah.

“Sehingga jangan terburu-buru kalau menurut YLBHI karena masyarakat perlu juga untuk mengetahui pasal mana saja yang ditambahkan? Apakah itu bermasalah atau tidak? Dan itu juga perlu dikawal, karena kembali lagi bahwa RKHUP ini akan menjadi Kitab UU Hukum semacam induk dalam sistem peradilan hukum pidana,” pungkasnya. [gi/ab]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.