Menteri Keuangan sekaligus Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) Sri Mulyani Indrawati optimistis bhawa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal kedua tahun ini masih bisa di atas lima persen.

“Kita memperkirakan Q-2 ini masih akan tumbuh di atas lima persen, terutama karena untuk Q-1 waktu itu 5.01 persen, jadi untuk untuk Q-2 ujga akan bertahan di atas lima persen,” ungkap Menkeu.

Perkiraan tersebut, bukanlah tanpa sebab. Sri menjelaskan, meskipun perekonomian global saat ini sedang bergejolak, perekonomian domestik sampai detik ini masih terjaga dengan baik. Hal ini, katanya terlihat dari beberapa indikator seperti indeks penjualan rill (IPR) yang tumbuh 15,4 persen year on year (yoy), Purchasing Manager Index (PMI) Manufaktur yang naik menjadi 51,3 pada Juli dari 50,2 pada bulan sebelumnya. Selain itu, katanya indeks keyakinan konsumen meningkat hingga level 128,2 dari posisi 111,0 pada Maret.

“Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat memiliki optimisme terhadap prospek pemulihan ekonomi,” tuturnya.

Menkeu mengatakan, kinerja neraca pembayaran Indonesia atau NPI juga masih diperkirakan akan tetap kuat, di tengah tekanan terjadinya arus modal asing yang keluar. ia memperkirakan, transaksi berjalan pada triwulan- kedua 2022 akan mencatat surplus dan lebih tinggi dibandingkan capaian surplus pada triwulan pertama.

“Pada Juni 2022, surplus neraca perdagangan tercatat mencapai USD5,09 miliar satu bulan saja yaitu Juni. Kalau dilihat selama satu triwulan yaitu triwulan- kedua 2022 neraca perdagangan surplus mencapai USD15,55 miliar. Sementara itu, neraca transaksi modal dan finansial diperkirakan tetap terjaga dan itu didukung oleh aliran modal masuk ke Indonesia dalam bentuk penanaman modal asing atau PMA atau FDI (Foreign Direct Investment, red),” tuturnya.

Meski begitu, dari sisi portofolio investasi tidak cukup menggembirakan. Pasalnya meskipun pada triwulan kedua net inflow tercatat sebesar USD0,2 miliar, memasuki triwulan-ketiga ada net outflow mencapai USD2,05 miliar. Menurutnya, hal ini terjadi lantaran ketidakpastian di pasar keuangan global yang masih tinggi. Tekanan terhadap nilai tukar mata uang rupiah oleh dolar Amerika Serikat pun tidak terelakan. Sampai dengan 28 Juli, nilai tukar rupiah sudah melemah 4,55 persen secara year to date.

Seorang teller di money changer menampilkan Rupiah Indonesia dan dolar AS di Jakarta, 12 Agustus 2015. (REUTERS/Rivan Awal Lingga/Antara)

Seorang teller di money changer menampilkan Rupiah Indonesia dan dolar AS di Jakarta, 12 Agustus 2015. (REUTERS/Rivan Awal Lingga/Antara)

“Meskipun demikian pelemahan 4,55 persen year to date dari rupiah masih lebih baik apabila dibandingan dengan pelemahan atau depresiasi berbagai mata uang di kawasan. Di Malaysia, ringgit mengalami pelemahan 6,46 persen, India mengalami pelemahan 6,80 persen dan Thailand yang mengalami pelemahan hingga mencapai 9,24 persen,” jelasnya.

Inflasi pun naik menjadi 4,94 persen secara tahunan. Namun, laju kenaikan inflasi tersebut masih dipandang oleh pemerintah cukup moderat, apalagi inflasi inti atau core inflation masih terjaga pada tingkat 2,86 persen secara year on year. Hal ini, katanya, merupakan buah dari konsistensi kebijakan Bank Indonesia dalam menjaga ekspektasi inflasi Indonesia.

Walaupun berbagai indikator perekonomian domestik masih terjaga dengan baik, ujar Menkeu, pemerintah akan terus mewaspadai gejolak perekonomian global. Apalagi Bank Dunia dan IMF telah merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan global untuk tahun ini. Bank Dunia sendiri merevisi pertumbuhan ekonomi global dari 4,1 persen menjadi 2 persen, sedangkan IMF dari semula 3,6 persen menjadi 3,2 persen.

“Stabilitas sistem keuangan atau SSK berada dalam kondisi yang masih terjaga, di tengah tekanan perekonomian global yang meningkat. Sebagai akibat berlanjutnya perang di Ukraina dan tekanan inflasi global serta respon pengetatan kebijakan moneter global yang lebih agreasif. Daya tahan atau resiliensi stabilitas sistem keuangan atau SSK pada triwulan kedua 2022 ini menjadi pijakan bagi Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk tetap optimis namun juga terus mewaspadai berbagai tantangan dan risiko yang sedang dan akan terus terjadi dan kita hadapi,” tuturnya.

Pemulihan Ekonomi Berjalan Lambat

Ekonom INDEF Eko Listyanto mengungkapkan perkiraan pertumbuhan ekonomi tanah air pada kuartal kedua di atas lima persen bisa saja terjadi. Hal ini, katanya, didorong oleh momen adanya bulan Ramadan dan hari raya Idulfitri.

Meski begitu, faktor eksternal terlihat berdampak cukup signifikan terhadap Indonesia. Ini, menurutnya, terlihat dari nilai tukar rupiah yang melemah cukup besar dan modal asing yang terus keluar.

Eko mengatakan pasar saham di Indonesia terihat masih belum bergairah. Inilah, yang menurut Eko, menggambarkan adanya tekanan terhadap perekonomian tanah air saat ini.

“Kemungkinan sekitar 4,9- lima persen bisa dicapai untuk triwulan kedua. Sebetulnya dengan angka itu gede gak? Sebetulnya gak begitu gede, karena awal-awal saya masih inget Ibu Menkeu itu sempat bilang ketika baru rilis triwulan-I, triwulan-II yakin banget pemerintah bisa tujuh persen, kira-kira begitu, tapi ternyata tidak sebesar itu. Jadi kalau hanya lima persen bahkan mungkin 5,5 persen saja, itu tetap menggambarkan pemulihan yang lamban karena biasanya perode triwulanan yang ada momen lebaran cukup gede di dalam ekonomi kita,” ungkap Eko kepada VOA.

Eko melihat capaian pertumbuhan ekonomi pada tahun ini masih lebih baik dibandingkan tahun lalu. Dengan situasi global yang masih tidak menentu, menurutnya, akan sulit bagi pemerintah untuk mencapai target pertumbuhan perekonomian pada tahun ini yang dipatok sebesar 5,2 persen. Ia memprediksi perekonomian Indonesia pada tahun ini akan bertengger di atas empat persen saja.

Lalu apa yang harus dilakukan oleh pemerintah ke depan guna menjaga perekonomian dalam negeri tetap stabil? Menurutnya langkah pemerintah untuk tetap memberikan perlindungan sosial berupa bantuan-bantuan langsung tunai akan cukup berdampak baik bagi kalangan masyarakat rentan miskin dan miskin. Pemerintah, katanya, harus tetap mensubsidi energi termasuk BBM, gas elpiji dan listrik.

Meski demikian, pemerintah harus memikirkan solusi terbaik agar subsidi energi ini tidak terus membengkak seiring kenaikan harga minyak dunia.

Eko menyarankan, langkah Bank Indonesia (BI) yang tetap menahan suku bunga acuan BI harus dipertimbangkan kembali. Pasalnya, hal ini juga membuat nilai tukar rupiah menjadi tidak stabil dalam beberapa waktu belakangan ini.

“Sebetulnya, yang perlu diatasi sekarang ini, okay ….. kita menahan suku bunga tapi untuk mendorong perekonomian tapi ternyata ekonominya gak kenceng-kenceng amat. Tapi di sisi lain nilai tukar terus melemah, itu kan jadi problem nanti. Harus ada upaya untuk menstabilisasi ekonomi, walaupun mungkin kalau BI lebih cenderung tetap mendorong pemulihan ekonomi tapi kalau rupiahnya terus babak belur saya rasa nanti implikasinya adalah instabilitas juga, seperti mulai muncul modal asing yang keluar, terus nanti mungkin diikuti ke pasar saham,” pungkasnya. [gi/ab]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.