Iran, Selasa (2/8), mengecam sanksi-sanksi baru AS yang menarget sektor energi penting dan bersumpah akan membalas. Kecaman Iran ini muncul pada saat pembicaraan terkait program nuklir negara itu telah terhenti selama berbulan-bulan.

Pemerintahan Presiden AS Joe Biden “tidak menghentikan tindakan tidak produktif dan destruktif ini bahkan pada saat upaya sedang dilakukan untuk melanjutkan negosiasi untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir Iran,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Nasser Kanani.

Melalui sebuah pernyataan, Kanani mengungkapkan, Iran bersumpah akan “memberikan tanggapan tegas dan segera” terhadap sanksi-sanksi yang diumumkan sehari sebelumnya itu dan mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk mengatasi dampak-dampaknya pada perdagangan negara itu.

Pemerintah AS, Senin, memasukkan enam perusahaan dalam daftar hitam karena membantu Iran mengekspor produk petrokimia ke Asia Timur untuk menghindari sanksi-sanksi atas program nuklir Teheran.

Tiga perusahaan perdagangan yang berbasis di Hong Kong dan satu perusahaan Uni Emirat Arab terkena sanksi Departemen Keuangan AS karena membantu sebuah perusahaan Iran, Persian Gulf Petrochemical Industry Commercial Co, mengirimkan produk minyak dan petrokimianya yang bernilai jutaan dolar kepada pembeli di Asia Timur yang tidak disebutkan namanya, kata Departemen Keuangan. .

Selain itu, Departemen Luar Negeri AS memasukkan ke daftar hitam dua perusahaan pelayaran, yang berbasis di China dan Singapura, karena membantu mengatur pengiriman itu.

Supertanker minyak mentah Grace 1 yang membawa minyak mentah Iran. (Foto: Reuters)

Supertanker minyak mentah Grace 1 yang membawa minyak mentah Iran. (Foto: Reuters)

Sanksi-sanksi tersebut memblokir aset apa pun yang dimiliki perusahaan-perusahaan itu yang berada dalam yurisdiksi AS dan melarang individu atau perusahaan AS melakukan bisnis dengan mereka. Sanksi-sanksi tersebut secara efektif membatasi akses mereka ke sistem keuangan global.

Perkembangan terbaru ini terjadi sewaktu pembicaraan di Wina antara Iran dan beberapa negara besar dunia, termasuk Amerika Serikat, untuk menghidupkan kembali perjanjian nuklir 2015 terhenti sejak Maret.

Selasa lalu, kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa dan koordinator pembicaraan nuklir antara Iran dan negara-negara berpengaruh dunia, Josep Borrell, mengajukan rancangan teks baru dan mendesak semua pihak untuk menerimanya atau “mengambil risiko menghadapi krisis nuklir yang berbahaya”.

Kanani mengkritik pemerintahan Biden karena “melanjutkan dan bahkan memperluas” kebijakan “gagal” dari pendahulunya Donald Trump, yang secara sepihak menarik Amerika Serikat dari kesepakatan nuklir pada 2018.

Teheran, pada bagiannya, secara bertahap menghindari kewajiban-kewajibannya dalam kesepakatan itu..

Iran, Senin, menyatakan optimismenya bahwa pembicaraan nuklir akan dilanjutkan setelah mengevaluasi rancangan yang diajukan Borrell. [ab/uh]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.