Pengadilan Negeri Pekanbaru, Senin (1/8) mengeluarkan amar putusan yang sepenuhnya memenangkan warga dalam gugatan kepada pemerintah kota tersebut. Prinsipnya, menurut pengacara dari LBH Pekanbaru Noval Setiawan, amar putusan ini mengabulkan permintaan warga terkait pembuatan kebijakan pengelolaan sampah. Sebelumnya, warga sudah mengingatkan pentingnya aturan hukum pengelolaan sampah, tetapi pemerintah kota tidak menanggapinya secara serius.

“Ini terobosan baru ya. Jadi memang kita melakukan upaya gugatan warga negara ini bukan tanpa alasan,” kata Noval kepada VOA, Selasa (2/8).

Noval Setiawan dari LBH Pekanbaru yang mengawal kasus gugatan warga kepada Pemkot Pekanbaru terkait sampah.

Noval Setiawan dari LBH Pekanbaru yang mengawal kasus gugatan warga kepada Pemkot Pekanbaru terkait sampah.

“Kita tahun lalu sudah melakukan notifikasi kepada pemerintah kota, wali kota, DPRD dan DLHK (Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan -red), cuma tidak direspons untuk kemudian menerbitkan kebijakan. Tentu jalur pengadilan yang kemudian kita ambil, tentu agar pemerintah kota mengeluarkan kebijakan itu,” lanjutnya.

Dalam putusan yang disampaikan melalui e-court, PN Pekanbaru menyatakan bahwa wali kota, DPRD, dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Kota Pekanbaru melawan hukum. Majelis hakim meminta ketiga pihak itu melakukan empat putusan.

Seorang aktivis menggelar aksi terkait tata kelola sampah kota Pekanbaru yang buruk. (Foto: Walhi Riau)

Seorang aktivis menggelar aksi terkait tata kelola sampah kota Pekanbaru yang buruk. (Foto: Walhi Riau)

Pertama, menerbitkan Peraturan Kepala Daerah tentang pembatasan penggunaan plastik sekali pakai. Kedua, mengeluarkan kebijakan bersifat mengatur dan melakukan tindakan terkait penanganan sampah. Ketiga, melakukan kewajiban pengawasan pengelolaan sampah yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Pekanbaru secara maksimal. Keempat, mengalokasikan APBD Kota Pekanbaru untuk pengelolaan sampah.

“Kemenangan dalam gugatan ini adalah kemenangan seluruh masyarakat kota Pekanbaru,” tambah Noval.

Gugatan warga negara tentang pengelolaan sampah Kota Pekanbaru ini diajukan dua warga, yaitu Riko Kurniawan dan Sri Wahyuni. Gugatan tersebut dianggap penting karena merupakan upaya dalam memenuhi hak warga kota atas lingkungan yang baik dan sehat.

Pengelolaan sampah kota Pekanbaru yang bermasalah mendorong warga menggugat pemerintah setempat, dan menang. (Foto: Walhi Riau)

Pengelolaan sampah kota Pekanbaru yang bermasalah mendorong warga menggugat pemerintah setempat, dan menang. (Foto: Walhi Riau)

Noval mengingatkan UU Persampahan sebenarnya mengamanatkan daerah untuk menerbitkan peraturan daerah yang komprehensif terkait sampah. Jika amanat itu dilaksanakan, upaya gugatan di pengadilan sebenarnya tidak harus dilakukan.

“Kita juga mengkritik, belum ada Peraturan Kepala Daerah atau Peraturan Daerah di Kota Pekanbaru yang mengatur tentang sampah plastik sekali pakai,” tambah Noval.

Dalam proses persidangan, Pemerintah Kota Pekanbaru berkilah bahwa selama ini mereka telah mengeluarkan surat edaran, imbauan dan sejenisnya terkait pengelolaan sampah. Namun, gugatan ini penting karena sebuah produk hukum di daerah harus ada untuk dapat mengikat warganya dalam pengelolaan sampah itu sendiri.

“Ini baru putus kemarin, masih ada waktu bagi pemerintah untuk banding. Tetapi terlepas dari itu, kita mau melihat respons pemerintah. Ini bukan soal upaya hukum, dampak hukum dan lain sebagainya. Ini soal political will pemerintah ketika warga negara meminta suatu regulasi,” ujar Noval lagi.

Gugatan Banjir di Palembang

Di Sumatera Selatan, warga kota Palembang juga meraih kemenangan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), saat menggugat pemerintah kota. Rustandi Adriansyah, dari Tim Advokasi Korban Banjir Palembang kepada VOA menjelaskan gugatan ini dilayangkan terkait kelalaian pemerintah dalam menegakkan aturan hukum yang mereka buat sendiri sehingga menyebabkan banjir.

“Kalau semuanya itu, tidak ada tali air yang terputus, sistem drainase baik yang alami maupun buatan. Kalau efektif kolam retensinya, itu enggak akan terjadi banjir. Termasuk dalam gugatan itu, dan dibuktikan, soal tata kelola sampah. Karena ada banyak juga banjir ini karena tata kelola sampah,” kata Rustandi yang juga selaku kuasa hukum penggugat.

Dokumentasi BPBD Sumatera Selatan terkait bencana banjir kota Palembang, 25 Desember 2021. (Foto: BPBD Sumsel)

Dokumentasi BPBD Sumatera Selatan terkait bencana banjir kota Palembang, 25 Desember 2021. (Foto: BPBD Sumsel)

Kota Palembang mengalami banjir besar pada akhir tahun 2021, yang menurut data resmi, merupakan yang bencana terbesar dalam 30 tahun terakhir. Para aktivis dan warga kota yang menelaah lebih dalam menemukan fakta bahwa banjir terjadi bukan karena faktor cuaca. Namun, lebih disebabkan salah tata kelola kota. Gugatan warga negara atas tindakan faktual aparatur negara dalam konteks lingkungan hidup ini adalah yang pertama kali terjadi di Indonesia.

Kota itu telah memiliki Perda 15/2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palembang Tahun 2012 s/d 2032. Anehnya, apa yang ditetapkan dalam Perda itu tidak dilaksanakan.

“Dalam kajian para ahli dan juga di persidangan, mengemuka indikasi banjir ini bukan karena debit Sungai Musi, tetapi dari sumber lain. Dalam hal ini adalah genangan dari dalam kota sendiri. Ini adalah problem tata kota, karena pemerintah yang tidak menjalankan mandat dari Perda terkait tata ruang,” kata Rustandi.

Jembatan Ampera di Sungai Musi yang diselimuti kabut asap akibat kebakaran hutan di Palembang, Sumatera Selatan. (Foto: AP)

Jembatan Ampera di Sungai Musi yang diselimuti kabut asap akibat kebakaran hutan di Palembang, Sumatera Selatan. (Foto: AP)

“Kita meyakini seharusnya banjir itu tidak terjadi, kalau memang ada antisipasi, berupa tindakan mitigasi. Genangan air ini terjadi kan karena saluran drainase tersumbat. Pada dasarnya itu sebenarnya. Ini persoalan sederhana, tersumbatnya drainase kota,” tambahnya.

Rustandi juga menyebut bahwa Palembang kekurangan Ruang Terbuka Hijau (RTH), saluran airnya banyak tersumbat oleh sampah yang salah dikelola, dan kolam retensi tidak mampu menampung air.

Karena itulah, putusan hakim PTUN terkonsentrasi pada upaya menegakkan tata kelola kota yang lebih baik.

Dalam amar putusannya, PTUN Palembang mewajibkan wali kota menyediakan RTH seluas 30 persen dari luas wilayah kota. Wali kota juga harus mengembalikan fungsi rawa konservasi seluas 2.106,13 hektare sebagai fungsi pengendalian banjir. Wali kota juga diwajibkan menyediakan kolam retensi secara cukup dan terhubung dengan saluran drainase yang memadai. Daerah aliran sungai juga harus bisa diolah sesuai baku mutu air bersih.

Wali kota juga wajib menyediakan tempat pengelola sampah yang tidak menimbulkan pencemaran udara dan air, sebagai fungsi pengendalian banjir, serta menyediakan Posko Bencana Banjir di lokasi yang terdampak banjir, melakukan kesiapsiagaan, peringatan dini dan mitigasi bencana kepada warga Kota Palembang, dalam tanggap darurat bencana.

“Sudah pasti, yang paling merasakan dampaknya adalah masyarakat umum, warga Kota Palembang. Mereka adalah masyarakat kecil, pedagang, karyawan, yang perekonomiannya, tergantung pada aktivitas sehari-hari,” tambah Rustandi.

Putusan ini, lanjut Rustandi, selanjutnya akan dibawa ke DPRD Kota Palembang. Lembaga wakil rakyar itu harus dipastikan berkomitmen mengawal putusan pengadilan ini bersama warga.

“Karena ini hak masyarakat. Dan kewajiban pemerintah untuk menyediakan lingkungan yang lebih baik,” tandas Rustandi. [ns/ah]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.