Pemerintah akhirnya mencabut kebijakan penghentian sementara atau moratorium pengiriman Pekerja Migran Indonesia (PMI) ke Malaysia mulai 1 Agustus 2022.

Keputusan ini dilakukan setelah kedua negara menandatangani kesepakatan bersama terkait implementasi penandatanganan nota kesepahaman (Memorandum of Understandings/MoU) tentang Penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik di Malaysia.

Penandatanganan ini dilakukan oleh Menteri Ketenagakerjaan RI, Ida Fauziyah dan Menteri Sumber Manusia Malaysia, Dato’ Sri M. Saravanan Murugan, di Jakarta, Kamis (28/7), pasca-pertemuan Joint Working Group (JWG) ke-1.

Para pekerja migran tujuan negara-negara Timur Tengah difoto untuk pembuatan paspor di kantor imigrasi Tangerang, Banten, 23 Juni 2011. (Foto: REUTERS/Beawiharta)

Para pekerja migran tujuan negara-negara Timur Tengah difoto untuk pembuatan paspor di kantor imigrasi Tangerang, Banten, 23 Juni 2011. (Foto: REUTERS/Beawiharta)

“Kedua pihak menyetujui dimulainya kembali perekrutan dan penempatan PMI di Malaysia mulai 1 Agustus 2022, bergantung pada efektif tidaknya implementasi dari komitmen yang dibuat dalam MoU,” ungkap Menaker Ida dalam siaran persnya.

Ida mengakui dalam forum Joint Working Group (JWG) ada sejumlah masalah implementasi dalam hal kebijakan dan teknis yang mungkin mempengaruhi pelaksanaan MoU sebelumnya. Sehingga, katanya, disepakati bersama tentang langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan implementasi yang menyeluruh, khususnya sistem One Channel System (OCS).

“Indonesia dan Malaysia sepakat dan menegaskan kembali bahwa OCS akan menjadi satu-satunya mekanisme perekrutan dan penempatan PMI di Malaysia dengan mengintegrasikan sistem online yang ada, yang dikelola oleh Perwakilan Indonesia di Malaysia dan sistem online yang dikelola oleh Departemen Imigrasi Malaysia. Hal ini dilakukan dengan sepenuhnya mematuhi syarat dan ketentuan yang disepakati sebagaimana diatur dalam MoU,” tegas Ida.

Selain itu, Ida juga mengatakan perlunya dilakukan sebuah pilot project selama tiga bulan sebelum sistem OCS diberlakukan sepenuhnya. Hal ini, katanya, untuk memastikan kelancaran aplikasi sistem terintegrasi.

Menurut Ida, kedua pihak sepakat untuk mengambil semua langkah yang diperlukan untuk memastikan norma dan prosedur yang disepakati, sebagaimana ditetapkan dalam MoU dipatuhi sepenuhnya oleh seluruh pihak dengan melibatkan lembaga/departemen terkait di pemerintahan masing-masing.

Lebih lanjut ia mengatakan, pihak Indonesia dan Malaysia mengakui pentingnya memerangi perdagangan orang (trafficking in person) dan berkomitmen untuk melibatkan pemangku kepentingan terkait di negaranya masing-masing dalam rangka menjalin kerja sama bilateral yang konkret.

Dua pekerja migran dari Indonesia sedang menikmati hari libur di Museum Seni Hong Kong, 2 Oktober 2020. (Foto: Jayne Russel/AFP)

Dua pekerja migran dari Indonesia sedang menikmati hari libur di Museum Seni Hong Kong, 2 Oktober 2020. (Foto: Jayne Russel/AFP)

“Kedua belah pihak juga berkomitmen untuk memfasilitasi kerja sama antara lembaga jaminan sosial di Malaysia dan Indonesia dalam rangka memperkuat pelindungan bagi Pekerja Migran Indonesia,” katanya.

Masalah Sama Selalu Berulang

Sementara itu, Sekretaris Nasional Jaringan Buruh Migran (JBM) Savitri Wisnuwardhani mengatakan permasalahan perlindungan PMI di Negeri Jiran tersebut selalu berulang. Bahkan sebelum adanya UU no 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI). Terakhir pemerintah melakukan moratorium pengiriman PMI ke Malaysia pada tahun 2011.

Maka dari itu, menurut Savitri, jika memang pemerintah Indonesia akan mencabut moratorium pengiriman PMI ke Malaysia mulai 1 Agustus, maka hal itu harus dibarengi dengan pengawasan yang ketat di lapangan. Pengawasan perlu dilakukan agar jangan sampai Malaysia kembali berlaku semena-mena dengan tidak mengimplementasikan kesepatan yang ada.

Selain itu, katanya, sosialisasi kepada calon pekerja migran yang berminat bekerja di Malaysia juga harus dilakukan sebagai bagian dari upaya untuk menghindari adanya warga Indonesia yang bekerja ke Malaysia dengan cara ilegal.

“Bukannya saya tidak sepakat dengan pencabutan moratorium ini. Moratorium atau tidak moratorium itu kan hanya sebagai alat untuk bagaimana implementasi perlindungan itu dijalankan,” katanya.

“Kalau kita misalnya punya UU PPMI yaitu bagaimana dijalankan, ini hanya jadi alat saja untuk bargaining kepada pemerintah negara tujuan bahwa kita memiliki aturan seperti ini. Kalau kamu butuh pekerja kita ya kamu harus mengikuti aturan Indonesia, dan itu harusnya sudah dituangkan dalam MoU dan sudah disepakati bersama,” ungkapnya kepada VOA.

Buruh migran Indonesia tiba dari Malaysia di pelabuhan Bandar Sri Junjungan di Dumai, Riau pada 2 April 2020, setelah Indonesia menyatakan keadaan darurat pada 31 Maret akibat virus corona melonjak. (Foto: AFP/Iwan CKN)

Buruh migran Indonesia tiba dari Malaysia di pelabuhan Bandar Sri Junjungan di Dumai, Riau pada 2 April 2020, setelah Indonesia menyatakan keadaan darurat pada 31 Maret akibat virus corona melonjak. (Foto: AFP/Iwan CKN)

Menurut Savitri, penyebab utama masih banyaknya calon migran yang memilih jalur ilegal untuk pergi bekerja ke berbagai negara tujuan penempatan adalah rumitnya proses dari mulai perekrutan, administrasi, hingga keberangkatan.

“Tinggal pemerintah kita yang memastikan calon PMI sesuai yang dibutuhkan di luar negeri, informasi, kemudian biaya juga harus murah, tidak boleh ada biaya berlebih dan prosedur yang rumit yang akhirnya si PMI memlih jalur tekong atau calo. Jadi hak dan kewajiban kedua negara sudah ada yang harus dilakukan, itulah yang harus dilakukan bersama, ada itikad dan inisiatif yang baik,” pungkasnya. [gi/ah]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.