redaksiharian.com

    9SHARES

Ilustrasi

Dream – Bayi yang baru lahir mewarisi gen kedua orangtuanya. Bukan hanya fisik, namun juga sifat dan kebiasaannya. Ada anak yang lebih banyak mewarisi gen ayah, tapi ada juga anaknya yang gennya didominasi dari ibu.

Ada juga fakta lain soal sifat dan kebiasaan anak yang ternyata ” warisannya” didominasi dari ibu. Hal ini karena anak lebih banyak menghabiskan waktu bersama ibunya mulai dari rahim hingga balita. Apa saja sifat dan kebiasaan anak yang cenderung menurun ke anak-anaknya?

Jam Bangun TidurBayi biasanya bangun bersamaan dengan sang ibu karena mereka mengetahui bahwa ibunya sudah bangun. Jika ibu biasa bangun pagi, maka bayi juga akan bangun pagi kecuali jika bayi ditidurkan kembali. Jam tidur bayi juga dibawa sejak dalam kandungan, namun dapat berubah dengan faktor eksternal.

Sifat RapiBayi memperhatikan dunia sekitarnya. Jika ibu memiliki kebiasaan yang rapi, maka bayi akan mengikutinya. Jika sang ibu terlihat gemar merapikan barang-barang yang berserakan, bayi secara naluri akan tahu bahwa barang-barang harus teratur dan berada di tempat yang tepat.

Berkomunikasi dengan Orang

Bayi akan mengikuti kata-kata yang digunakan sang ibu untuk berbicara, sehingga para ibu harus berhati-hati dengan perkataannya. Selain itu, anak juga mempelajari cara menjawab pesan/telepon. Biarkan anak terbiasa berkomunikasi dengan saudara dan teman-temannya. Latih mereka cara komunikasi yang baik.

Tata Krama MakanBayi memperhatikan apa yang dilakukan ibu di meja makan ketika mereka mulai makan sendiri. Bagaimana cara sang ibu makan adalah sesuatu yang akan anak ikuti.

Nilai-nilaiNilai-nilai yang dianut ibu akan diwarisi sang anak. Kebiasaan berdoa sebelum makan, sebelum tidur adalah kebiasaan yang mudah diwariskan ke anak tanpa banyak bertanya. Maka dari itu, membiasakan nilai-nilai dan perlakukan baik merupakan mendasar yang sangat penting untuk membentuk karakter anak.

Laporan: Meisya Harsa Dwipuspita/ sumber: Brightside

Fakta Soal Kondisi Otak Ibu Saat Stres, Jadi Mudah Lupa

Dream – Banyak hal yang harus dilakukan sementara anak sangat rewel, rumah berantakan dan rencana tak berjalan sesuai rencana. Hal ini pastinya memicu stres para ibu.

Emosi pun jadi tak terkendali. Rasa lelah, sedih, marah, kecewa jadi satu dan rasanya kepala ingin ” meledak” . Dalam kondisi ini, ibu pastinya mengalami level stres yang cukup tinggi dan sering tak menyadarinya.

Audrey Susanto, seorang psikolog profesional, memberikan penjelasan soal kondisi otak ibu saat stres. Saat begitu banyak konflik dan kondisi yang tak mengenakkan menurut Audrey ada tiga area di otak yang terkena dampaknya, dan salah satu efeknya jadi mudah lupa.

” Ada 3 area dalam otak yang terdampak. Prefrontal cortex yang fungsinya untuk berpikir, jadi lebih sulit -> ibu (dan anak) mungkin jadi lebih impulsif ketika ambil keputusan. Hippocampus yang fungsinya berhubungan sama memori, jadi lebih sulit untuk membuat dan menyimpan memori, jadi sering lupa,” tuis Audrey dalam akun Instagramnya @audreytsusanto.

Satu lagi area otak yang paling kena dampak adalah Amygdala, merupakan pusat rasa takut dan emosi. Ibu akan jadi lebih reaktif dengan pemicu stres di sekitarnya. Audrey mengistilahkannya dengan ” senggol bacok” . Saat kondisi otak demikian, sebaiknya ibu duduk sebentar untuk memahami stres yang dihadapi.

” Maka dari itu, kalau stres kita coba regulasi dulu stresnya yah, supaya nggak menimbulkan dampak-dampak negatif untuk diri, anak orang di sekitar. Koneksi di prefrontal cortex (PFC) memburuk ketika stres,” ungkap Audrey.

© Shutterstock

Stres akan menyulitkan PFC menjalankan fungsi regulasi emosi. Otak menjadi lebih impulsif, sulit merencanakan, tidak fleksibel dan berkurangnya memori. Kondisi stres juga dapat mengakibatkan penurunan volume hipocampus pada kedua sisi otak.

Otak pun lebih sulit untuk membuat, menyimpan dan mengingat kembali memori. Hal ini juga yang membuat ibu jadi sangat mudah lupa.

” Penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan fungsi amygdala. Dalam kondisi stres amygdala menjadi sangat reaktif. Ini berarti, ibu jadi sangat sensitif terhadap pemicu stres di sekitarnya,” ungkap Audrey.

Siap-siap Ayah Bunda, Anak Usia 8-12 Emosinya Seperti Popcorn Meledak

Dream – Memasuki usia yang baru dengan pengalaman dan situasi yang baru, sebagai orang dewasa kita seringkali kebingungan. Kadang juga merasa sendirian dan tak tahu harus berbuat apa.

Bayangkan hal tersebut terjadi pada anak yang memasuki usia pra remaja (tween) pada umur 8 hingga 12 tahun. Mereka sudah berpikir lebih kritis, mulai merasakan banyak emosi dari berbagai situasi. Anas Satriyo, seorang psikolog anak dan remaja dalam akun Instagramnya @anassatriyo mengungkap kalau anak di usia tersebut bisa dibilang ” ngeri-ngeri sedap” .

” Saya ingin lebih sering bahas area usia yang belum terlalu banyak dibahas di sosial media dalam Pengasuhan Anak, yaitu di Rentang usia #Tween antara 8-12 tahun yang BENERAN #NgeriNgeriSedap,” tulisnya.

© MEN

Ia menjelaskan, anak di usia 8 hingga 12 tahun sudah tidak memiliki proses emosi-psikologis seperti di usia anak, tapi juga belum masuk ke fase remaja yang seutuhnya. Di momen tersebut anak-anak mulai mengembangkan pemikiran yang lebih abstrak, terkait pertemanan, penampilan, dan isu moral.

” Di usia 11-12 tahun, semakin menunjukkan ciri khas menuju masa remaja yaitu semakin terfokus dengan minat dan dunia mereka serta semakin memperhatikan kehidupan di luar rumah,” ungkap Anas.

© Shutterstock

Masa pra remaja (tween) adalah masa transisi atau boleh dibilang krisis karena ” diri” / ” self” yang anak kita pahami di usia anak-anak, tak lagi sama.

” Mereka juga mengalami duka karena diri mereka di masa anak-anak sudah berubah,” tulisnya.

Anak di masa tween ini merasa bingung dengan perubahannya. Baik secara biologis, psikologis, maupun sosial. Kebingungan itu seringkali muncul pada perubahan sikapnya yang kerap mendebat, menarik diri dan membuat tak nyaman orang di sekelilingnya.

Hal tersebut, menurut Anas, membuat anak lebih sering merasa sendiri. Merasa orangtua dan sekeliling tak mengerti kondisinya.

” Buat orangtua yang sedang menghadapi anak-anak di masa tweens semoga kita mau bergandengan tangan memahami emosi kita maupun memahami dinamika emosi anak yang lagi kayak popcorn meleduk,” ungkap Anas.

Menurutnya, justru di momen inilah anak-anak makin butuh merasa dicintai oleh orangtuanya. Penting bagi ayah bunda belajar cara-cara berkomunikasi sehat dengan anak di usia ini.