redaksiharian.com

RUTENG, KOMPAS.com – Leluhur masyarakat Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT), mewariskan bentuk rumah tradisional di perkampungan dengan beratapkan ijuk dari pohon enau atau aren.

Rumah tradisional ini menjadi salah satu daya tarik wisatawan mancanegara (wisman) dan wisatawan nusantara (wisnus) untuk menjelajahi perkampungan itu saat di Kabupaten Manggarai.

Selain liburan di perkampungan tradisional dengan warisan arsitektur yang unik, wisatawan juga bisa mempelajari sejarah dari arsitektur tersebut yang diwariskan oleh leluhur.

Berikut beberapa perkampungan tradisional yang masih mempertahankan kearifan lokal dan keaslian rumah tradisionalnya:

Wisata rumah adat di Nusa Tenggara Timur

1. Kampung Adat Todo

Di kampung ini, ada tujuh rumah adat yang berdiri kokoh dengan bangunan berbentuk kerucut dan beratapkan ijuk.

Kampung Adat Todo dulunya dikenal sebagai pusat Kerajaan Todo. Banyak bukti sejarah yang menandakan bahwa kampung ini adalah pusat Kerajaan Todo sebelum masuknya penjajahan Belanda ke wilayah Manggarai.

Adapun area kampung berbentuk setengah bulat. Di bagian tengah ada mazbah untuk persembahan dan halaman, sedangkan di pinggir halaman terdapat rumah adat.

Wisatawan sering berwisata ke kampung itu guna mempelajari sejarah, bentuk rumah, alam, serta sejarah Kerajaan Todo.

2. Kampung Adat Ruteng Puu

Perkampungan ini berada tak jauh dari Kota Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai.

Dari pusat Kota Ruteng, kampung yang jadi pusat peradaban dan budaya Manggarai ini bisa dijangkau dalam waktu 10 menit ke arah barat.

Setiap wisatawan yang berwisata di kampung ini akan disambut dengan hangat oleh tetua adat setempat yang menjaga warisan nenek moyang orang Manggarai.

Di tengah kampung adat itu ada compang besar sebagai tempat mazbah untuk berbagai acara ritual adat. Ada juga pohon dadap yang usianya sudah ratusan tahun.

3. Kampung Adat Wae Rebo

Kampung Adat Wae Rebo sudah mendapat pengakuan dari UNESCO sebagai warisan budaya dunia pada Agustus 2012.

Mencapai perkampungan ini tidaklah mudah. Wisatawan harus berjalan kaki selama dua jam untuk bisa tiba di lokasi.

Wisatawan umumnya membeli paket perjalanan wisata dengan rute Labuan Bajo-Wae Rebo-Ruteng-Bena-Ende-Wologai-Kelimutu-Maumere, serta sebaliknya dari arah timur.

Tempat wisata lainnya untuk melihat rumah adat NTT

Selain ketiga kampung yang disebutkan sebelumnya, terdapat beberapa kampung lain yang bisa dikunjungi bila wisatawan ingin tahu lebih jauh soal rumah adat khas NTT.

Kampung-kampung tersebut, antara lain Kampung Adat Bangka Tuke, Kampung Tradisional Poka, Kampung Tradisional Tenda, dan Kampung Tradisional Woang.

Bisa dibilang, Kabupaten Manggarai dikenal sebagai kabupaten dengan ratusan rumah adat yang masih asli, walaupun sebagiannya sudah beratapkan seng.

Dosen Unika Santo Paulus Ruteng, Dr Marianus Tapung atau Manto Tapung menyampaikan, perkampungan tradisional dengan rumah adat beratap ijuk dari pohon enau atau aren mempertahankan keasliannya.

“Dari segi adaptasi perkembangan dan efisiensi, banyak rumah adat yang sudah menggunakan atap seng. Ini merupakan bagian dari warisan peradaban budaya kuno (arkais) orang Manggarai. Pada zaman kuno, pemanfaatan sumber daya alam menjadi bagian upaya mempertahankan hidup dan melindungi diri dan komunitas keluarga,” jelasnya kepada Kompas.com, Rabu (12/4/2023).

Tapung menjelaskan, Hal ini didasarkan pada kesadaran ekologis manusia yang menyatu dengan alam, dan alam menjadi sumber kehidupan bagi manusia.

Alam digunakan seadanya dan digunakan sepenuhnya untuk keberlanjutan hidup manusia, bahkan nenek moyang orang Manggarai memiliki warisan intelektual secara otodidak dalam membangun rumah adat dan pribadi.

“Iya, benar sekali. Leluhur orang Manggarai memiliki pengetahuan simetris dan asimetris berkembang baik dan seimbang, bahkan sampai sekarang,” ujarnya.

Ada hubungan simbolis metaforis, lanjut Tapung, bahwa apa yang menjadi kebijakan pembagian tanah sawah dan tanah ladang menurut strata sosial masyarakat Manggarai merujuk pada pola joglo rumah gendang.

Terkait hal itu, bila semakin mendekati pusat maka seseorang semakin memiliki status sosial yang tinggi atau otoritas yang besar, berlaku pula sebaliknya.

Adapun pola pembagian menurut strata sosial ini, dipandang adil dan merata, serta menciptakan keseimbangan simbolis metaforis.