redaksiharian.com – Hubungan AS dan Arab Saudi tengah panas gara-gara OPEC + memutuskan untuk memangkas produksi minyak sebesar 2 juta barel per hari.

Keputusan OPEC+, kelompok produsen minyak yang dipimpin Arab Saudi dan Rusia, dalam memangkas produksi membuat para pemimpin AS marah karena khawatir harga minyak bakal melambung.

Pemangkasan produksi dikhawatirkan AS dan sekutunya akan mengerek harga minyak harga dan membantu Presiden Rusia Vladimir Putin terus mendanai perangnya di Ukraina.

Presiden AS Joe Biden mengatakan pada Rabu (12/10/2022) bahwa akan ada konsekuensi untuk hubungan Arab Saudi dan AS setelah OPEC+ mengumumkan pemangkasan produksi minyaknya.

Kendati demikian, Biden tidak membahas opsi apa yang dia pertimbangkan untuk hubungan tersebut.

Seorang pejabat senior AS menuturkan bahwa Biden bahkan tidak berencana bertemu Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman (MBS) dalam KTT G20 bulan November di Indonesia.

Di sisi lain , Menteri Luar Negeri Arab Saudi Adel al-Jubeir mengatakan, negaranya bermitra dengan Rusia untuk memangkas produksi minyak guna menstabilkan pasar.

Dia juga membantah tudingan bahwa ada motif politik di balik keputusan pemangkasan produksi minyak dari OPEC+.

Atas ketegangan tersebut, akankah hubungan antara AS dan Arab Saudi bisa putus?

Reuters melaporkan pada Kamis (13/10/2022), menurut wawancara dengan para analis dan pakar Teluk Arab, hubungan antara AS dan Arab Saudi memang tengah memanas.

Namun, baik AS dan Arab Saudi kemungkinan besar tidak akan memutus hubungannya.

AS tidak ingin mengganggu keamanan minyak Arab Saudi. Jika hubungan Washington dan Riyadh jatuh lebih dalam lagi, harga minyak bisa melonjak lebih tinggi dan mungkin mendorong Arab Saudi mendekat ke China dan Rusia.

Sementara itu, Riyadh sadar bahwa pihaknya tidak dapat dengan mudah mendiversifikasi pasokan senjata untuk militernya.

Militer Arab Saudi telah dilengkapi dan dilatih secara besar-besaran oleh AS sejak kedua negara menjalin hubungan yang saling menguntungkan pada 1945.

Keretakan hubungan

Reuters menyebutkan, hubungan AS dan Arab semakin renggang saat Biden menjadi Presiden AS dan menyatakan sikapnya yang keberatan terhadap pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi pada 2018.

Sementara itu, MBS diangkat sebagai Perdana Menteri Arab Saudi, memberinya kekebalan dalam gugatan AS terhadap pembunuhan Khashoggi.

“Sang putra mahkota percaya bahwa pemerintah AS menargetkan dia. Dan oleh karena itu, dia memutuskan untuk menantangnya dan membuktikan kekuatan posisinya di dalam kerajaan dan bahwa dia tidak peduli dengan sikap AS,” kata salah satu sumber Teluk, yang meminta anonimitas.

Sumber tersebut menambahkan, para pejabat di Riyadh meyakini bahwa AS tidak bisa bertindak jauh dalam menghukum Arab Saudi.

“Jadi ini adalah pertempuran kehendak dan pengambilan keputusan yang berdaulat,” kata sumber itu.

MBS semakin mendapatkan pengaruh di panggung dunia setelah Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari.

Kala itu, para pemimpin Barat, termasuk Biden, meminta kerajaan memproduksi lebih banyak minyak untuk memerangi inflasi yang tinggi dan meningkatnya biaya pinjaman.

Namun, permintaan Biden tidak digubris.

Minyak

Ali Shihabi, seorang komentator Arab Saudi yang dekat dengan Royal Court, menuturkan bahwa MBS adalah orang dengan harga diri yang tinggi.

“AS jelas merupakan mitra yang ingin tetap dekat dan bekerja sama dengan MBS, tetapi dia tidak akan membiarkan negara itu berada di bawah belas kasihan politikus AS,” ucap Shihabi.

“Dia telah melakukan upaya besar sejak hari pertama untuk memberi sinyal kepada AS bahwa dia menginginkan hubungan yang sangat baik. Tetapi politikus AS terus mengoceh tentang Khashoggi yang dia akui sebagai kesalahan mengerikan 4 tahun lalu,” sambungnya.

MBS, selaku penguasa de facto Arab Saudi, menyadari kekuatan dan posisi pasar minyak Arab Saudi sebagai penyeimbang Iran.

Tapi kelemahan Riyadh adalah keamanan. Arab Saudi menghadapi ancaman dari Iran dan proksinya, terutama setelah serangan 2019 yang sempat menurunkan produksi minyak Saudi dan mengguncang pasar energi.

Riyadh menyalahkan Teheran ada di balik serangan. Akan tetapi, Iran membantah bertanggung jawab.

Senjata

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri AS Ned Price mengatakan, peninjauan hubungan dengan Arab Saudi tetap memperhatikan ancaman dari Iran.

Di sisi lain, pakar Timur Tengah di Girton College, Cambridge, Elisabeth Kendall, menuturkan bahwa hal paling praktis yang dapat dilakukan AS adalah menghentikan penjualan senjata ke Arab Saudi.

“Tantangan yang muncul adalah kepentingan strategis dan ekonomi AS sendiri untuk terus memasok Arab Saudi, sehingga dapat melindungi infrastruktur minyaknya dan menghindari (Riyadh) menjalin hubungan yang lebih dekat dengan Rusia dan China,” tutur Kendall.

Arab Saudi sendiri sudah menekan Washington untuk memasok lebih banyak rudal Patriot dan membatalkan kebijakan hanya menjual senjata pertahanan.

Jeremy Binnie, spesialis pertahanan Timur Tengah di Janes, mengatakan bahwa Arab Saudi sangat bergantung pada AS untuk kekuatan udara, baik dalam hal kemampuan defensif dan ofensif.

Binnie menuturkan, bahkan jika Arab Saudi siap untuk menghapus investasi besar mereka dalam peralatan militer AS, negara-negara lain kesulitan untuk memberikan kemampuan yang sebanding.