Peneliti Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Harlitus Berniawan mengkhawatirkan kondisi keterwakilan perempuan dalam proses seleksi calon anggota Bawaslu di 25 provinsi. Ini terlihat dari jumlah peserta perempuan yang lolos seleksi tes kesehatan dan tes wawancara yakni 28 orang dari 150 peserta.

Bahkan, kata dia, terdapat tujuh provinsi yang sama sekali tidak memiliki keterwakilan perempuan yaitu Sulawesi Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Timur, Maluku, dan Sumatera Barat. “Jumlah ini bukan hanya sekedar mengkhawatirkan tetapi sudah menunjukan kondisi darurat keterwakilan perempuan di Bawaslu provinsi,” jelas Berniawan di Jakarta, Senin (8/8/2022).

Berni menambahkan 12 provinsi lainnya juga hanya meloloskan satu orang perempuan dari total enam peserta yang lolos pada tahapan ini. Kondisi ini berpotensi membuat belasan provinsi tersebut tidak memiliki wakil perempuan di Bawaslu provinsi. Karena itu, kata dia, perlu kebijakan afirmasi pada tahapan uji kelayakan dan kepatutan.

“Kami Koalisi Kawal Keterwakilan Perempuan di KPU dan Bawaslu sangat menyesalkan Tim Seleksi yang tidak memperhatikan keterwakilan perempuan minimal 30 persen dalam keanggotaan penyelenggara pemilu,” tambahnya.

Kendati demikian, Berni tetap mengapresiasi enam provinsi yang meloloskan perempuan lebih dari 30 provinsi. Keenamnya adalah Kepulauan Riau (50 persen), Kalimantan Tengah (50 persen), Jawa Timur (50 persen), Jawa Tengah (50 persen), DKI Jakarta dan Sulawesi Barat masing-masing 33,3 persen.

MPI : Kebijakan 30% Keterwakilan Perempuan Masih Setengah Hati

Aktivis Maju Perempuan Indonesia (MPI) Bivitri Susanti mengatakan kebijakan 30 persen keterwakilan perempuan di pemilu dan seleksi penyelenggara pemilu masih setengah hati. Ia beralasan kebijakan tersebut masih sebatas diminta untuk memperhatikan keterwakilan perempuan, bukan menjadi syarat pemilu atau seleksi penyelenggara pemilu.

“Untuk bisa mencapai keterwakilan yang maksimal. Memang harus ada kelompok-kelompok yang selama ini terpinggirkan. Itu yang kita perjuangkan,” ujar Bivitri.

Bivitri dan organisasi masyarakat sipil lainnya mendorong Bawaslu RI untuk mengevaluasi dan menegur Tim Seleksi yang tidak menjalankan amanat Undang-undang terkait kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan. Utamanya yang tidak meloloskan atau hanya meloloskan satu orang dalam penentuan enam besar pada 2 Agustus 2022 lalu.

Selain itu, koalisi juga menuntut Bawaslu RI untuk memastikan 30 persen keterwakilan perempuan dalam hasil akhir seleksi anggota Bawaslu di tingkat provinsi.

VOA sudah menghubungi Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja dan sejumlah anggota Bawaslu RI terkait keterwakilan perempuan dalam seleksi anggota Bawaslu provinsi. Namun, belum ada penjelasan dari mereka hingga berita ini diturunkan. [sm/em]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.