
redaksiharian.com – Sosok Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Puan Maharani tengah mendapat sorotan tajam.
Sikap politisi PDI Perjuangan (PDI-P) itu terhadap kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dipertanyakan.
Dalam rapat paripurna DPR yang digelar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (6/9/2022), Puan tersenyum semringah karena mendapat kejutan di hari ulang tahunnya.
Padahal, pada waktu bersamaan, Gedung DPR RI tengah dikepung dari luar oleh ribuan pendemo yang menolak kenaikan harga BBM.
Sikap Puan itu berbanding terbalik ketika PDI-P berada di luar pemerintahan. Saat pemerintahan dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Puan dan beberapa elite partai banteng lain bahkan menangis merespons harga BBM yang naik.
Dulu menangis
Rencana kenaikan harga BBM di era Presiden SBY sempat mendapat penolakan keras pada 2008 silam.
Penolakan salah satunya datang dari PDI-P. Di bawah pimpinan Megawati Soekarnoputri, PDI-P sempat mengerahkan massa untuk berunjuk rasa menentang rencana pemerintah menaikkan harga BBM.
Megawati bahkan menangis di hadapan publik menyoal rencana tersebut.
“Banyak rakyat lapar karena tingginya angka kemiskinan, tidak mendapatkan pendidikan yang bagus, tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik,” kata Megawati saat memberikan sambutan dalam rapat kerja nasional PDI-P di Makassar, Sulawesi Selatan, 27 Mei 2008.
“Saya sedih melihat rakyat banyak yang menderita, padahal kita punya banyak kekayaan alam, namun angka kemiskinan tinggi,” tuturnya.
Puan Maharani juga sempat menunjukkan sikap serupa. Puan yang kala itu menjadi anggota DPR dari Fraksi PDI-P menitikkan air matanya dalam dalam sidang paripurna.
Sejumlah anggota DPR dari Fraksi PDI-P pun kompak mengenakan setelan pakaian hitam-hitam dalam paripurna sebagai simbol penolakan kenaikan harga bahan bakar minyak.
Kini semringah
Kini, air mata Puan, Megawati, atau elite PDI-P lainnya tak tampak lagi.
Padahal, Presiden Joko Widodo menaikkan harga tiga jenis BBM pada Sabtu (3/9/2022).
Pertalite naik dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter. Lalu, solar naik dari Rp 5.150 per liter menjadi 6.800 per liter.
Sedangkan pertamax naik dari Rp 12.500 menjadi Rp 14.500 per liter.
Kenaikan itu memicu penolakan besar-besaran dari masyarakat. Ribuan rakyat yang terdiri dari mahasiswa hingga buruh berdemo mengepung Gedung DPR RI pada Selasa (6/9/2022).
Rupanya, momen demonstrasi itu bertepatan dengan hari ulang tahun Puan.
Tak bergeming atas suara demonstran, di dalam Gedung DPR, para anggota DPR justru memberi kejutan untuk Puan yang sedang berulang tahun.
Lagu “Selamat Ulang Tahun” dari grup band Jamrud tiba-tiba menggema di ruang rapat sesaat setelah Puan memimpin sidang paripurna.
“Kami seluruh peserta sidang dan undangan mengucapkan selamat ulang tahun untuk Ketua DPR Ibu Puan Maharani. Semoga panjang umur, sehat dan sukses selalu, serta dalam lindungan Allah SWT. Aamiin,” kata pembawa acara.
Para anggota dan pimpinan DPR pun bangkit dari kursinya untuk ikut bernyanyi dan bertepuk tangan.
Puan juga ikut berdiri. Dia tampak tersenyum semringah dan ikut bertepuk tangan.
Tak lama, para peserta rapat dipersilakan untuk duduk kembali. Puan pun menelangkupkan kedua tangannya seakan mengucapkan terima kasih.
Usai rapat paripurna, Puan menyatakan bahwa DPR masih belum menentukan sikap apakah akan menemui pendemo atau tidak.
“Sampai saat ini (Selasa siang) kami akan lihat dulu. Namun dari pernyataan atau aspirasi yang disampaikan, kami akan mengakomodir aspirasi tersebut. Dan nanti akan kami sampaikan melalui komisi-komisi untuk dibicarakan dengan pemerintah,” kata Puan.
Namun, hingga unjuk rasa selesai pada sore hari, tidak ada satu pun perwakilan dari anggota DPR yang menemui massa.
Dalih PDI-P
Terkait ini, Ketua DPP PDI-P Said Abdullah berdalih, Puan tak lagi menangis saat pemerintah menaikkan harga BBM karena kondisi geopolitik saat ini dan era pemerintahan SBY berbeda.
“Kondisinya kan berbeda, kondisi hari ini dunia, kita sadar nggak sih kalau ini persoalan geopolitik,” kata Said di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (6/9/2022), dikutip dari Kompas TV.
Perbedaan kondisi itu misalnya, penolakan Arab Saudi dan negara-negara eksportir minyak untuk menambah alokasi minyak di pasaran, pandemi Covid-19 yang melanda dunia, serta perang Ukraina-Rusia.
“Dulu apa sih problematiknya? Sekarang apa? Kan beda, pandemi, minyak hancur sehancur-hancurnya. Tingkat permintaan tinggi, tiba tiba ada perang. Padahal rantai pasok global belum sempurna, goyang semua negara,” ujar Said.
Said pun meminta publik objektif melihat fakta yang ada. Menurut dia, fakta sekarang tidak bisa disamakan dengan sepuluh tahun lalu.
Tangis politik
Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin memandang, sikap yang ditunjukkan Puan dan elite PDI-P kini berbanding terbalik dengan kritik mereka terhadap kenaikan harga BBM di era SBY.
Pada era pemerintahan SBY, PDI-P menjadi partai oposisi. Saat itu, kata Ujang, kritik dan air mata dicurahkan untuk mendapat simpati dan dukungan publik.
Sementara, kini, PDI-P sudah berada di lingkar kekuasaan, bahkan menjadi partai penguasa.
“Saat ini karena jadi penguasa, jadi pemenang, ya lupa tangisan itu. Lupa karena tangisan itu tangisan politik, perjuangan politik agar bisa menang. Kalau saat ini sedang berkuasa ya semua terlupakan,” kata Ujang kepada Kompas.com, Kamis (8/9/2022).
Ujang mengatakan, perayaan ulang tahun sebenarnya sah-sah saja. Namun, kali ini, momennya tidak tepat.
Sebabnya, ketika para wakil rakyat bersuka-ria, rakyat berdemo karena tercekik menghadapi kenaikan harga BBM.
“Masyarakat sedang jatuh tertimpa tangga, sudah terkena pandemi, banyak yang di-PHK banyak yang nganggur, banyak yang tidak bisa makan, lalu dengan kenaikan BBM perayaan ulang tahun itu dilakukan di saat yang tidak pas,” ucap Ujang.
Menurut Ujang, sikap Puan dan para anggota DPR lainnya dalam rapat paripurna kemarin menunjukkan ketidakpekaan mereka.
Alih-alih merayakan ulang tahun, seharusnya Puan bisa memimpin anggota dewan untuk menemui para pendemo di luar Gedung DPR.
Lebih baik lagi jika Puan dan para pimpinan DPR lain bisa berdialog dan duduk bersama dengan para demonstran.
“Saya melihat ini ketidakpekaan wakil rakyat, Ketua DPR, dan anggota-anggota lainnya terhadap tuntutan tuntunan dari publik,” kata Ujang.
“Kalau seperti ini ya tentu masyarakat sangat dirugikan. Mestinya mereka (DPR) menjadi representasi atau mewakili rakyat, tapi siapa yang kemudian diwakili?” lanjutnya.