redaksiharian.com – Presiden Joko Widodo (Jokowi) sepertinya sudah bersiap jika Indonesia kalah menghadapi gugatan Uni Eropa (UE) lewat mekanisme gugatan organisasi perdagangan dunia, World Trade Organization (WTO).
Seperti diketahui, Uni Eropa mengajukan gugatan ke WTO atas Indonesia pada 22 November 2022. Berawal dari pelarangan ekspor bijih nikel oleh Jokowi sejak 1 Januari 2020. Yang ditetapkan melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019.
Mengutip situ resmi WTO disebutkan, Uni Eropa mengklaim bahwa pembatasan ekspor bahan mentah tertentu, termasuk yang memerlukan persyaratan pemrosesan dalam negeri, kewajiban pemasaran dalam negeri, dan persyaratan perizinan ekspor, tidak sesuai dengan Pasal XI:1 GATT 1994.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, lawan berat seperti UE dalam kasus nikel tidak bisa dianggap enteng karena sumber daya ahli yang cukup cukup kaliber tinggi dan jam terbang yang teruji.
“Indonesia biasanya agak kurang dalam persiapan tim hukum WTO. Karena faktor biaya untuk rekrut lawyer yang berpengalaman relatif mahal dalam satu kasus,” kata Bhima kepada CNBC Indonesia, Kamis (8/9/2022).
Jika pemerintah kalah dalam gugatan WTO, kata dia, akan mempengaruhi reputasi Indonesia di mata investor yang sudah terlanjur membangun smelter.
“Bayangkan misalnya kalah di WTO dan sudah banding pun hasilnya sama maka Indonesia harus bayar kompensasi yang tidak kecil,” kata Bhima.
Karena itu, lanjutnya, seharusnya sebelum membuat kebijakan, pemerintah tidak bisa sekedar nasionalisme saja. Tapi juga harus memikirkan konsekuensi logis ke depan.
Hanya saja, ujar Bhima, bukan berarti Indonesia harus mundur.
“Jangan mundur tapi ajak pengusaha Eropa untuk investasi hilirisasi nikel di Indonesia dengan insentif yang menarik,” katanya.
Di sisi lain, dia menambahkan, pemerintah sudah saatnya belajar dari beberapa kekalahan Indonesia di WTO. Termasuk, menghadapi Brasil yang menggugat kebijakan soal keran impor daging ayam dan produk daging ayam.
“Harus jadi pelajaran. Apa faktor kebijakan tidak dipersiapkan matang, tim hukum yang lemah, hingga Indonesia dianggap kurang mampu menggandeng negara lain untuk memperkuat posisi Indonesia,” tambahnya.
“Terkait impor ayam Brasil, perlu dicari alternatif pembatasan,” katanya.
Ke depan, kata Bhima, kebijakan perdagangan internasional Indonesia harus menyesuaikan komoditas dan arah kebijakan pembangunan nasional.
Seperti pembatasan impor, kata Bhima, meski masih diperlukan untuk melindungi pasar di dalam negeri. Harus dilakukan dengan cara dan celah regulasi yang dipikirkan matang.
“AS dengan China misalnya, tetap melakukan perang dagang sebagai bentuk ajang kekuatan di level internasional. Yang terpenting adalah persiapan dan efek retaliasi bisa diminimalisir. Sambil memperkuat kemampuan posisi tawar dan tim hukum, termasuk penguatan riset sebelum merumuskan UU hingga peraturan teknis,” kata Bhima.
Sebelumnya, Presiden Jokowi mengatakan, Indonesia bisa saja kalah menghadapi UE di WTO.
“Nggak perlu takut setop ekspor nikel. Dibawa ke WTO nggak apa-apa. Dan keliatannya kita juga kalah di WTO. Nggak apa-apa, tapi barangnya sudah jadi dulu, industrinya sudah jadi. Nggak apa-apa, kenapa kita harus takut? Kalau dibawa ke WTO kalah. Kalah nggak apa-apa, syukur bisa menang,” kata Jokowi saat membuka Sarasehan 100 Ekonom Indonesia 2022 CNBC Indonesia bersama INDEF di Menara Bank Mega, Jakarta, Rabu (7/9/2022).
“Tapi kalah pun nggak apa-apa, industrinya sudah jadi dulu. Nanti juga sama. Ini memperbaiki tata kelola dan nilai tambah ada di dalam negeri,” kata Jokowi.